Ditilang? Pernah donk.
Nah, begitu juga deh pengalaman diriku yang pernah ditilang pada bulan April 2019 yang lalu. Saat itu, aku ditilang dengan kasus lampu depan mati. Kok bisa mati ya, padahal saat berangkat dari Cibinong di Subuh hari, lampu depan masih berfungsi normal, yaitu masih nyala. Tiba-tiba saat berada di sekitaran Cawang, Jatinegara aku diberhentikan oleh polisi (lupa nama bapak polisinya). Aku berhenti dan menepikan sepeda motor karismaku. Ternyata, kesalahan ada pada lampu depanku yang mati. Aku sudah mengutarakan kebenaran hal tersebut kepada polisi, namun sang Polisi tidak ada pengampunan sama sekali. Yasudahah, kuterima saja pernyataan dari polisi, dibanding aku harus kena lebih besar lagi denda tilangnya.
Ohya, memang berbeda ya.. di mata hukum (dalam hal ini pihak polisi lalu intas) meski sudah berkata jujur namun tetap dianggap bersalah. Kuakui memang saat distop lampu mati, namun saat aku mengendarai motor awal lampu memang hidup kok. Nah, dalam hal ini bukan berarti saat motor jalan aku perhatikan lampu terus donk. Dalam hal ini mungkin polisi bisa merenungkan apakah setiap berkendara harus melihat kenyataan dalam berkendaranya harus memperhatikan lampu kendaraannya.. Hal inilah (mungkin) yang membuat polisi di mata masyarakat jelek. Karena polisi tanpa tedeng aling aling langsung menyatakan bersalah setiap orang meski sudah mengutarakan kebenarannya. Kesal donk pastinya, sebagai Introspeksi saja sih.
Oke, setelah dinyatakan
Oke, aku pun pergi meninggalkan pak polisi yang menilangku. Dan berharap datang pada pengadilan yang ditetapkan pada kertas berwarna biru tersebut. Namun, pada tanggal yang ditetapkan ternyata aku tidak bisa mengambil karena kesibukan sedang mengajar. Dan kalau di Pengadilan Negeri biasanya ramai luar biasa juga. Akhirnya kuundurkan saja untuk pengambilan SIM ku tersebut hingga ke Kejaksaan Negeri, karena tidak bisa mengikuti sidang. Nah, di Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, tepatnya tanggal 13 Juni 2019 aku datang ke sana.
Suasana Syawal 1440 H masih terasa. Kejaksaan Negeri pun masih sepi. Baru sampai di Kejaksaan Negeri jam 9 an, kutanyakan kepada petugas yang memakai seragam dinas letak pengambilan SIM yang ditilang, dijawab olehnya ada di gedung sebelah. Sang Bapak (kulupa namanya) memberikan sinyal kalau mau dibantu olehnya bisa saja (mungkin semacam pencaloan ya..). Lalu kubilang saja, gak pak, terima kasih. Kulanjut ke gedung tempat tilang tersebut.
Awal masuk, tertera sebuah spanduk bertuliskan hindari pencaloan. Untung aku tidak tergiur dengan hal tersebut
Ngantri donk... |
Aku mendapat nomor antrian yaitu 7 48. Menunggulah aku hingga berkas aku dicarikan dan berapa denda yang seharusnya akan kubayarkan.
Tibaah waktunya, diumumkan deretan nomor antrianku. Disebutlah nomor antrian 7 48 dengan denda sebesar 61 ribu. Segeralah kutuju ruang pembayaran denda. Di ruang pembayaran denda ini pembayaran dengan BRILink. Kusebutkan dendaku sebesar 61 ribu dan akhirnya aku membayar sebesar 62 ribu, karena seribu nya untuk biaya administrasinya. Nah, jika melihat UU No 22 Tahun 2009 seharusnya aku membayar sebesar-besarnya yaitu 100 ribu dan akhirnya hanya membayar cukup 61 ribu. Setelah membayar denda kembali ke loket 8 deh, SIM ku pun bisa diambil lahi.. Alhamdulillah..
Berikut, grafis yang coba kubuat terkait UU No. 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ya:
Ohya, melihat UU di atas, jika banyak kesalahan yang dilakukan maka semakin besar dendanya ya.. tapi, ikuti saja aturannya ya dengan mengikuti tilang saja. Namun, jika ingin aman dan selalu berbahagia maka segeralah patuhi peraturan lalu lintas ya..
*grafis, foto dan video di atas dokumentasi pribadi ya